Kamis, 19 April 2018

DPR RI Mangkir Dalam Persidangan di MK


Oleh: Onesimus F. Napang
Foto Istimewa (dok. pribadi)












Sidang  Uji Metril (Judicial Review) terhadap Perubahan kedua UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang disahkan oleh DPR RI pada Tanggal 12 Februari 2018, kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MD3 kembali di gelar di Mahkamah Konstitusi.

Sidang tersebut dipanelkan bersama tujuh Pemohon lainnya dengan Nomor Perkara: 6/PUU-XVI/2018, 17/PPU-XVI/2018, 18/PUU-XVI/2018, 21/PUU-XVI/2018, 25/PUU-XVI/2018, 26/PUU-XVI/2o18, dan 28/PUU-XVI/2018.

Dengan agenda sidang penyampaian keterangan dari Presiden RI (Kuasa Pemerintah) dan keterangan dari DPR RI. Selain itu juga, mendengarkan Keterangan Saksi Ahli dari UGM Jogja, Zainal Arifin Mohtar dan Saksi Ahli dari UI Jakarta, Sony Maulana Sikumbang. Kamis, 19/4/18. Namun , DPR Mangkir dalam persidangan tersebut dengan alasan yang tidak jelas.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar selaku Ahli Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sidang Uji Materi UU MD3 menerangakan bahwa; pasal 73 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MD3 seharusnya dikaitkan dengan fungsi pengawasan yang secara konsepsi ditunjukan kepadfa pemerintah. Jika dimaknai setiap oraqng dapat dipanggil secara paksa dalam rangka DPR menbjualankan tugas dan wewenangnya, justru akan dapat membahayakan.

Zainal menambahkan bahwa Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6) merupakan penguatan konsep pemanggilan paksa bagi orang yang dinilai menghina martabat DPR. Menurutnya, proses hukum pada pelanggaran hukum adalah ranah penegak hukum. Yakni DPR dengan menggunakan Polri dapat melakukan pemanggilan paksa dan penahanan pada yang menghina DPR.

Selanjutnya pasal 122 huruf l UU MD3, zainal menilai sebagai pasal kartet. Anggota DPR dapat menggunakan pasal ini untuk menindak secara hukum orang yang diangfgap melecehkan martabat DPR.  Sementara dalam pasal ini tidak dijelaskan secara terperinci tentang tindakan yang dianggap merendahkan DPR, katnya. 
Sony Maulana Sikumbang, ahgli pemohon perkara Nomor 18/PPU-XVI/2018. Ia mengkritisi penambahan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sifatnya inkonsisten dan tidak efektif.

Disisi lain, penambahan tugas MKD tersebut untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang poersaeorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DOR dan anggota DPR menunjukan kealpaan dalam memberikan perhatian ata terjaminnya konsisten pengaturan dalam permasalahan penegakan martabat dan keluhuran DPR

Dalam kesempatan tersebut, juga digelar sidang untuk perkara Nomor 25, 26, 27/PUU-XVI/2018. Agenda sidang semula direncanakan untuk mendengarkan keterangan Pemerintah, namun pemerintah tetap akan menggunakan keterangan Presiden pada sidangan sebelumnya untuk perkara Nomor 16, 17, 18/PUU-XVI/2018. Pada prinsipnya, pemerintah tetap pada pendiriannya sebagaimana yang telah disampaikan dalam keterangan Presiden yang terdahukuy, jelas Purwoko mewakili Pemerintah dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Awar Usman tersebut.

Sejumlah pihak yang mengajukan uji materi UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Khususnya untuk perkara Nomor 26/PUU-XVI/2018 dengan para pemohon yang terdiri dari PMKRI dan sejumlah Perorangan Warganegara. Para pemohon menguji Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c dan ayat (5); Pasal 122 huruf (l) dan pasal 245 ayat 1

Ketiga Pasal tersebut diatas dipandang telah bertentangan denagn UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal (28), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1 dan 3), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, ujar Kosmas Mus Guntur selaku para pemohon Perseorangan Warganegara

Lebih lanjut Kosmas mengatakan, UU MD3 yang dinilainya membatasi hak warga negara untuk mengajukan atau mengeluarkan pendapat serta aspirasi kepada lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945, dengan pembatasan tersebut maka warga negara telah kehilangan haknya dan/atau kesempatan untuk bebas mengeluarkan pendapat dan pikiran untuk memperjuangkan haknya. UU MD3 ini lebih sebagai produk parlemen yang dapat mengkriminalisasi siapapun, sebab dengan jelas dikatakan pada pasal 122 huruf (L) itu. (GT.H)


Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search