Oleh: Onesimus F. Napang
Foto Istimewa (dok. pribadi) |
Sidang Uji Metril (Judicial Review) terhadap Perubahan kedua UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang disahkan oleh DPR RI pada Tanggal 12 Februari 2018, kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MD3 kembali di gelar di Mahkamah Konstitusi.
Sidang tersebut dipanelkan bersama tujuh Pemohon
lainnya dengan Nomor Perkara: 6/PUU-XVI/2018, 17/PPU-XVI/2018, 18/PUU-XVI/2018,
21/PUU-XVI/2018, 25/PUU-XVI/2018, 26/PUU-XVI/2o18, dan 28/PUU-XVI/2018.
Dengan agenda sidang penyampaian keterangan
dari Presiden RI (Kuasa Pemerintah) dan
keterangan dari DPR RI. Selain itu juga, mendengarkan Keterangan Saksi Ahli dari
UGM Jogja, Zainal Arifin Mohtar dan Saksi Ahli dari UI Jakarta, Sony Maulana
Sikumbang. Kamis, 19/4/18. Namun ,
DPR Mangkir dalam persidangan tersebut dengan alasan yang tidak jelas.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah
Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar selaku Ahli Pemohon Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sidang
Uji Materi UU MD3 menerangakan bahwa; pasal 73 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2018
Tentang MD3 seharusnya dikaitkan dengan fungsi pengawasan yang secara konsepsi
ditunjukan kepadfa pemerintah. Jika dimaknai setiap oraqng dapat dipanggil
secara paksa dalam rangka DPR menbjualankan tugas dan wewenangnya, justru akan
dapat membahayakan.
Zainal menambahkan bahwa Pasal 73 ayat (3),
(4), (5) dan (6) merupakan penguatan konsep pemanggilan paksa bagi orang yang
dinilai menghina martabat DPR. Menurutnya, proses hukum pada pelanggaran hukum
adalah ranah penegak hukum. Yakni DPR dengan menggunakan Polri dapat melakukan
pemanggilan paksa dan penahanan pada yang menghina DPR.
Selanjutnya pasal 122 huruf l UU MD3, zainal
menilai sebagai pasal kartet. Anggota DPR dapat menggunakan pasal ini untuk
menindak secara hukum orang yang diangfgap melecehkan martabat DPR. Sementara dalam pasal ini tidak dijelaskan
secara terperinci tentang tindakan yang dianggap merendahkan DPR, katnya.
Sony Maulana
Sikumbang, ahgli pemohon perkara Nomor 18/PPU-XVI/2018. Ia mengkritisi
penambahan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sifatnya inkonsisten
dan tidak efektif.
Disisi lain,
penambahan tugas MKD tersebut untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah
lain terhadap orang poersaeorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan DOR dan anggota DPR menunjukan kealpaan dalam memberikan
perhatian ata terjaminnya konsisten pengaturan dalam permasalahan penegakan
martabat dan keluhuran DPR
Dalam
kesempatan tersebut, juga digelar sidang untuk perkara Nomor 25, 26,
27/PUU-XVI/2018. Agenda sidang semula direncanakan untuk mendengarkan
keterangan Pemerintah, namun pemerintah tetap akan menggunakan keterangan
Presiden pada sidangan sebelumnya untuk perkara Nomor 16, 17, 18/PUU-XVI/2018. Pada
prinsipnya, pemerintah tetap pada pendiriannya sebagaimana yang telah
disampaikan dalam keterangan Presiden yang terdahukuy, jelas Purwoko mewakili
Pemerintah dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Awar Usman tersebut.
Sejumlah pihak
yang mengajukan uji materi UU No. 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)
ke Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya
untuk perkara Nomor 26/PUU-XVI/2018 dengan para pemohon yang terdiri dari PMKRI
dan sejumlah Perorangan Warganegara. Para pemohon menguji Pasal 73 ayat (3),
ayat (4) huruf a dan c dan ayat (5); Pasal 122 huruf (l) dan pasal 245 ayat 1
Ketiga Pasal
tersebut diatas dipandang telah bertentangan denagn UUD 1945, terutama Pasal 27
ayat (1), Pasal (28), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1 dan 3), Pasal 28E
ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, ujar Kosmas Mus Guntur selaku para pemohon Perseorangan
Warganegara
Lebih lanjut Kosmas mengatakan, UU MD3 yang
dinilainya membatasi hak warga negara untuk mengajukan atau mengeluarkan
pendapat serta aspirasi kepada lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Hal
ini sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan mengeluarkan pendapat yang
dijamin oleh UUD 1945, dengan pembatasan tersebut maka warga negara telah
kehilangan haknya dan/atau kesempatan untuk bebas mengeluarkan pendapat dan
pikiran untuk memperjuangkan haknya. UU MD3 ini lebih sebagai produk parlemen
yang dapat mengkriminalisasi siapapun, sebab dengan jelas dikatakan pada pasal
122 huruf (L) itu. (GT.H)
Posting Komentar